Rabu, 16 Desember 2009

Opini



Menuju Olahraga Berprestasi
Oleh : Utut Adianto
Iri dengan prestasi olahraga yang diukir bangsa-bangsa lain? Tentu dan wajarlah sikap iri itu, karena proporsinya positif. Fakta sosiologis menggambarkan, melalui prestasi olahraga, martabat atau harga diri bangsa dan negaranya terangkat. Itulah yang mendorong banyak negara berlomba untuk meraih prestasi terbaik atau terunggulnya, ditandai perolehan medali terbanyak atau pemenang dari final kompetisi.

Memang, olahraga bukan ranah politik. Tapi, keberadaannya bisa ikut memberikan makna konstruktif-positif bagi setting politik. Nama bangsa dan atau negara terangkat atas kemenangannya. Kini, bagaimana prestasi olahraga kita? Fakta mencatat, hanya cabang-cabang tertentu yang mendunia. Mayoritas jauh di bawah standar. Maka, sebuah obsesi yang harus dibangun adalah bagaimana mengukir prestasi olahraga kita ke level internasional seperti olimpiade, setidaknya, level regional (Asia) seperti Asian Games, bahkan yang lebih rendah lagi setingkat Asia Tenggara seperti SEA Games?

Jawabannya sangat tergantung pada kemauan politik Pemerintah. Jika memang menilai penting atas prestasi puncak atlet kita, konsekuensinya adalah perhatian ekstra terhadap pengembangan dunia olahraga. Refleksi yang mudah dibaca bukan pada instruksi atau harapan kepada para atlet dan jajaran terkaitnya (pelatih dan organisasi keolahragaan), tapi bagaimana memfasilitasi kebutuhan riil mereka. Hal ini akan tercermin jelas pada alokasi anggarannya. Jika memadahi, maka di sana akan terlihat optimisme. Sebab, amunisi yang memadahi berpotensi besar untuk membangkitkan spirit atlet, para pelatih dan manajemen pengelolaannya. Sebaliknya, jika yang penting ada anggaran, maka konsekuensinya sebuah risiko: pretasinya pun apa adanya, sulit untuk mencapai terbaik. Jika ada, terbatas jumlahnya.

Lalu, bagaimana sebenarnya sikap Pemerintah terhadap komitmen pengembangan olahraga di tanah air ini? Yang perlu kita garis-bawahi bukan semata-mata bangsa ini sehat, tapi mengukir prestasi di bidang olahraga. Jika kita buka pagu anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga dari tahun ke tahun, terkategori kecil atau terbatas. Sebagai ilustrasi tahun lalu (2009), pagu anggarannya tak lebih dari Rp 500 milyar. Dengan angka seterbatas ini, apa yang diharapkan untuk mencapai prestasi puncak. Sangat tidak rasional. Pagu anggaran itu relatif menggambarkan proporsi Kementerian Pemuda dan Olahraga sesungguhnya tak lebih dari sekedar asesoris. Dan – boleh jadi – hanyalah politik balas budi. Dengan proporsi seperti ini, maka kita dapat menerawang, pantaslah prestasi olahraga kita cukup terbatas.

Sedemikian terbataskah komitmen Pemerintah dalam mengembangkan olahraga di tanah air ini? Tentu, tak mau dituding seperti itu, meski data faktual tak bisa dipungkiri. Untuk menghindari tudingan yang tidak sedap itu, tampaknya Pemerintah – melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga – memperjuangkan pagu anggaran 2010 yang jauh lebih tinggi: mencapai Rp 1.553.859.460.000,-. Meski demikian, pagu anggaran tiga kali lebih besar dari tahun lalu ini tetap jauh lebih kecil dibanding sejumlah departemen teknis lainnya. Sebagai ilustrasi, Departemen Pendidikan Nasional mencapai Rp 51,796.49 trilyun (15,81% dari total anggaran nasional). Departemen Pertahanan Rp 40,688.68 trilyun (12,42%), Departemen Pekerjaan Umum Rp 35,227.12 trilyun (10,46%). Perbandingan pagu anggaran tersebut tetap mengundang tanya bagi kepentingan pengembangan olahraga dalam konteks prestasi terunggul.

Meski demikian, kita dapat menghargai tekad perbaikan anggaran itu, yang tentu punya misi tertentu, antara lain, berusaha menaikkan prestasi atlet dalam rangka memasuki kompetisi terbuka. Tapi, untuk mencapai prestasi puncak – secara matematis – masih diperlukan biaya jauh lebih besar, apalagi jika diharapkan semua cabang olahraga. Dengan fakta keterbatasan pagu anggaran itu, maka diperlukan siasat sekaligus komitmen Pemerintah bagaimana langkahnya mencapai konsekuensi biaya obyektif yang diperlukan untuk membangun prestasi itu, katakanlah melalui SEA Games.

Harus kita catat berulang kali, untuk mencapai prestasi puncak tidak bisa hanya mengandalkan kaulitas prima para atlet dan jajarannya (pelatih dan organisasi keolahragaan), tapi justru lebih didominasi faktor nonteknis. Sektor nonteknis ini (persoalan pendanaan) – sejauh ini – tidak terencana maksimal. Sesekali waktu, ada pihak sponsor yang mendanai event olahraga. Kita harus mencatat, kemauan sponsor bukan hanya tidak konsisten, tapi mereka juga bersikap pragmatis: adakah gain yang diraih dari partisipasinya dalam pesta olahraga itu?

Sebagai pedagang, mereka mau berkonstribusi jika ada feed back (keuntungan material) bagi kepentingan dirinya. Sementara itu kita tahu, sejalan dengan fakta pagelaran olahraga – secara umum – tidak mampu menyedot animo masyarakat dalam jumlah besar, maka para pihak sponsor pun enggan untuk ikut mendanai. Secara komparatif, para sponsor lebih tergerak untuk mensponsori pagelaran musik karena memang penontonnya membludak. Dan itu beda dengan pesta olahraga yang jauh lebih kecil jumlah penontonnya, sehingga para sponsor memang terlihat enggan pada event-event olahraga. Di sinilah, proses peloyoan menuju atlet berprestasi. Bukan hanya persoalan tingkat pelaksanaan event, tapi ketiadaan “amunisi” untuk membina atlet dan jajarannya yang terkait.

Karenanya, konsep pembangunan olahraga haruslah diubah: menciptakan olahraga sebagai industri. Diawali kerjasama dengan kaum industri, kemudian atletnya harus mampu memperlihatkan prestasinya secara fantastik. Reputasinya dijadikan modal yang siap “diperdagangkan” untuk kepentingan mitranya (industri) yang sejauh ini memfasilitasi prestasinya. Inilah format yang sudah berjalan efektif di sejumlah negara Barat. Sinergisitas industriawan – atlet dan manajemennya mampu mengantarkan sejumlah atlet berprestasi, yang bersifat grup ataupun individual.

Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya masih jauh, bagai panggang dari api. Kaum idustriawan masih memandang sebalah mata terhadap keberadaan atlet kita. Tak bisa disalahkan seratus persen. Kalangan pemodal sudah terlanjur berprinsip: memberikan dananya, berarti harus ada feed backnya. Sementara, atlet pun bisa berdalih, bagaimana mungkin bisa mencapai prestasi puncak sementara tak ada “amunisi” yang memadahi. Masing-masing tak bisa disalahkan. Di sinilah urgensi komitmen Pemerintah dalam konteks anggaran yang memadahi.

Sejalan dengan realisasi pagu anggaran keolahragaan yang relatif masih terbatas, maka komitmennya perlu diterjemahkan lebih jauh: menggunakan kekuasaan. Dalam hal ini ada dua model yang bisa dibangun. Pertama, mengefektifkan himbauan agar perusahaan – terutama BUMN – mengalokasikan sebagian dana corporate social responsibility (CSR) untuk membantu pengembangan dunia olahraga. Kita tahu, total dana CSR dari BUMN-BUMN sangat besar. Akan jauh lebih besar lagi jika himbauan itu juga diefektifkan ke perusahaan-perusahaan swasta kategori besar. Total akumulasinya sangat berpotensi untuk membangun pengembangan olahraga.

Yang menjadi persoalan, perusahaan-perusahaan itu – terutama BUMN – tampak enggan untuk mengalokasikannya. Faktornya, tidak mudahnya meminta tanda bukti pengeluaran dari para penerima bantuan. Padahal, era sekarang sungguh riskan jika pengeluaran tidak disertai bukti valid. Bisa dikategorikan penyalahgunaan wewenang (korupsi). Karenanya, yang harus dirancang adalah bagaimana dua pihak pencari sponsor dapat memahami arti krusial tanda bukti pengeluaran. Sementara itu, untuk perusahaan swasta, Pemerintah harus bisa lebih memaksa, bukan sekedar himbauan dan bukan pula sekedar menginformasikan peraturan CSR. Kalau perlu, ada kompensasi (insentif) bagi partisipan.

Yang kedua, Pemerintah – secara proaktif – memanggil sejumlah pengusaha papan atas. Mereka dikumpulkan di Istana, misalnya, dan masing-masing dibagi tugas untuk membina cabang-cabang olahraga yang ada. Dengan instruksi tegas Presiden, kiranya mereka tak bisa menolak. Hal ini – sebagai komparasi – pernah dilakukan mendiang Presiden Soeharto yang mengumpulkan para pengusaha kelas kakap. Langkah ini dilakukan sebagai evaluasi atas kekalahan Indonesia pada SEA Games 1995 yang gagal menduduki urutan pertama, padahal sebelumnya selalu meraih posisi teratas: empat kali SEA Games berturut-turut (1977, 1979, 1981 dan 1983). Bahkan, meski pernah jeda sekali dalam SEA Games 1985 di Thailand, tapi dua tahun berikutnya Indonesia merebut kembali sampai empat kali berturut-turut juga: 1987, 1989, 1991, dan 1993.

Itulah makna krusial penggunaan kekuasaan. Dengan langkah mengumpulkan para pengusaha papan atas itu, Indonesia berhasil memperbaiki posisi urut pada SEA Games XIX di Jakarta,1997, tidak hanya juara umum, tapi perolehan jumlah medalinya yang jauh lebih tinggi dibanding urutan kedua: Indonesia meraih 194 emas, 101 perak dan 115 perunggu. Sementara, Thailand sebagai urutan kedua hanya meraih 83 emas, 97 perak dan 78 perunggu.

Sejarah prestasi olahraga Indonesia itu kini tinggal catatan manis. Sejak lahir Orde Reformasi, prestasinya – terutama di SEA Games – terus menurun. Hal ini karena tiadanya perhatian khusus Pemerintah bahkan tiadanya penggunaan kekuasaan berpengaruh destruktif terhadap minimnya capaian prestasi atlet Indonesia. Hal ini baca pada lima SEA Games terakhir (1999, 2001, 2003, 2005 dan 2007). Karena itu, sudah saatnya mendayagunakan kembali kekuasaan. Kiranya tidak menjadi persoalan sepanjang arahnya konstruktif: untuk kepentingan martabat bangsa. Langkah ini diperlukan untuk menopang APBN yang relatif masih terbatas, meski tahun 2010 ini naik.

Satu makna yang perlu dicatat, penggunaan kekuasaan untuk melibatkan para pengusaha dalam pengembangan olahraga adalah ketersediaan dana untuk membina atlet. Kita tahu, pembinaan tidak boleh hanya menjelang pagelaran, tapi jauh sebelumnya dan bersifat kesinambungan atau terus-menerus. Inilah kata kunci yang mengantarkan hasil nyata. Lebih dari itu, realitas keberhasilannya bisa menularkan motivasi, tidak hanya para atlet yang siap berlaga, tapi juga para penerusnya. Bahkan, bisa juga menjadi daya dobrak untuk menyemaikan benih-benih di tengah masyarakat, sehingga atlet-atlet berpotensi bermunculan. Secara sadar atau tidak, keterlibatan para pengusaha besar dalam dunia olahraga bisa menciptakan proses regenerasi olahragawan yang bisa diharapkan.

Apakah alam reformasi ini masih cocok mendayagunakan kekuasaan? Memang ada nuansa yang agak beda dibanding alam Orde Baru. Namun demikian, kalangan konglomerat – sesuai dengan karakter dan prinsip dagangnya – akan merespons positif ketika sang presiden campur tangan langsung. Rakyat pun akan menyambut positif sejalan dengan campur tangannya memang untuk kepentingan rakyat, apalagi berdimensi menaikkan harga diri bangsa.

Akhirnya, apakah Presiden tetap berpangku tangan melihat prestasi olahraga kita yang kian meredup, setidaknya dalam lima kali SEA Games terakhir? Memang, Presiden sudah wanti-wanti kepada para atlet yang siap berlaga di SEA Games XXV di Laos itu untuk meningkatkan prestasinya, minimal menjadi tiga besar, bahkan mengukir prestasi seperti masa lampau (juara umum). Harapan itu wajar. Tapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana memfasilitasi para atlet hingga meraih prestasi yang diharapkan.

Harus disadari, jika tak ada fasilitas konkret, maka grafik prestasi olahraga kita akan semakin menurun. Dan itulah tren yang sudah terlihat (terjadi) sejak Orde Baru runtuh. Haruskah menyalahkan para atlet? Tidaklah fair. Mereka manusia biasa, yang memerlukan “amunisi” untuk kehidupan dirinya, bahkan keluarganya, juga bukan untuk jangka pendek waktunya. Kenyamanan dirinya dan atau keluarganya untuk saat ini dan masa depan berpengaruh penting terhadap motivasi para atlet, semasa dalam arena pelatihan ataupun ketika berkompetisi dan masa selanjutnya. Inilah catatan yang kiranya bisa diharapkan untuk mengukir prestasi olahraga kita di hadapan bangsa-bangsa lain. Semoga, SEA Games XXV di Laos nanti menjadi tonggak kesadaran baru untuk membangkitkan olahraga di Persada Nusantara ini. Andai hasil SEA Games XXV nanti tidak sesuai harapan karena banyaknya persoalan yang dihadapi selama ini, inilah pijakan sebagai bahan evaluasi untuk kemudian menatap lebih jauh guna mengantarkan prestasi olahragawan kita ke tingkat puncak. Sebuah kesadaran konstruktif yang berdimensi jauh.

Jakarta, 24 November 2009
Penulis: Grandmaster Internasional Catur, peraih medali emas Olimpiade Istanbul, 2000. Kini anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan

Tidak ada komentar: