Rabu, 30 Desember 2009

Info Olahraga

Menunggu Kembalinya Prestasi Emas


Tinju merupakan cabang olahraga di mana Indonesia pernah menjadi salah satu kekuatan yang ditakuti, tidak hanya di tingkat Asia Tenggara, tetapi juga hingga tataran Asia. Namun, kini semua hanya tinggal kenangan.

Bagaimana bisa menjadi andalan kalau sejak SEA Games 2003 di Vietnam prestasi petinju Indonesia terus melorot hingga di SEA Games 2009 Laos baru lalu.

Tradisi menyumbangkan medali emas dari cabang tinju sudah lama hilang. Sedikitnya sejak SEA Games 2003 Vietnam. Di Ho Chi Minh City, Pengurus Besar Persatuan Tinju Amatir Indonesia (PB Pertina) sudah tidak mampu memberikan medali emas lagi kepada kontingen Indonesia. Hasil maksimal yang bisa diberikan adalah dua medali perak dan empat perunggu.

Vietnam masih bisa dikatakan jauh lebih baik daripada di SEA Games berikutnya di Manila, Filipina, dua tahun kemudian. Pada SEA Games 2005 itu, dengan menurunkan lebih dari sepuluh petinju, tetap saja PB Pertina hanya bisa memberikan satu medali perak dan sepuluh medali perunggu. Di Thailand tahun 2007 bahkan lebih terpuruk lagi. Cabang tinju hanya muncul dengan enam medali perunggu.

Kemudian di Laos, Desember ini, menurut sejumlah pengurus, prestasi petinju Indonesia masih sedikit lebih baik. Alasannya, karena di Laos mereka masih mampu mempersembahkan tiga medali perak, selain enam medali perunggu.

Kurang fisik

Sekretaris Jenderal PB Pertina Pulo Pardede mengakui bahwa petinju Indonesia belum mampu berprestasi gemilang, tidak lain karena memiliki kelemahan utama, yakni pada fisiknya.

”Contoh paling gampang dilihat bahwa petinju kita lemah fisiknya, bisa terlihat jelas pada pertarungan Achmad Amri saat menghadapi petinju Malaysia di kelas 81 kilogram,” tutur Pardede, satu-satunya wasit tinju Indonesia yang memiliki sertifikat internasional itu.

Dalam laga tersebut, menurut Pardede, Amri sama sekali tidak mampu lagi melepaskan pukulannya sejak ronde kedua dimulai. ”Padahal, pertarungan itu, kan, hanya tiga ronde. Amri tidak mampu melepaskan pukul- annya lagi sejak ronde kedua. Ini kan memperlihatkan bahwa petinju kita sama sekali tidak memiliki fisik yang baik,” ujarnya.

Hal serupa juga terjadi kepada Urais Arenaldo Moniaga yang bermain di kelas 54 kilogram. Putra mantan petinju nasional itu sama sekali tidak mampu menang dari petinju Kamboja.

”Padahal, lawan dari Arenaldo—setelah menang atas Arenaldo—itu langsung ditundukkan lawannya dalam waktu 15 detik. Rasanya memang kita harus kembali ke inti dari pertarungan lebih dulu sebelum mengirimkan petinju kita ke ajang internasional,” katanya.

Memang percuma bila Indonesia mengirim petinju yang langsung dibantai petinju negara lain di atas ring, hanya gara-gara petinju kita tidak memiliki stamina yang mumpuni.

Padahal, petinju Indonesia rasanya sudah semakin banyak yang bergaya. Sayang, mereka hanya menjadi sasaran uji coba petinju mancanegara. Mungkin Indonesia memang perlu kembali mempertimbangkan kehadiran pelatih asing. Lihat saja Laos yang sudah menggunakan pelatih asal Kuba dan mereka mampu memperoleh satu medali emas.

Lama

Selain kelemahan dalam fisik dan stamina, satu kelemahan Indonesia lainnya adalah kurangnya kejuaraan tinju itu sendiri, terutama kejuaraan tinju di dalam negeri.

Kejuaraan Sarung Tinju Emas (STE), yang dulu menjadi tempat bertemunya para jawara tinju dari berbagai pelosok di Indonesia, kini jarang digelar.

Lihat saja bagaimana nasib STE saat ini. STE tahun 2009, misalnya, baru akan digelar awal tahun 2010. Bahkan, tuan rumahnya pun sudah berubah.

Sebelumnya Medan menyatakan siap untuk menjadi tuan rumah pelaksanaan STE 2009. Mendadak mereka membatalkan diri sehingga baru awal tahun 2010 ini STE 2009 akan digelar dengan tuan rumah barunya, Ambon.

Yang lebih menyedihkan lagi, tidak ada lagi Piala Presiden yang sejak tahun 1980-an menjadi barometer kekuatan dunia tinju di Asia. Piala Presiden ini sudah sangat lama tidak lagi mampu digelar PB Pertina, lebih dari tujuh tahun atau bahkan hampir tiga periode Ketua Umum PB Pertina.

Prestasi keberhasilan seorang Ketua Umum PB Pertina tidak hanya diukur dari keberhasilannya melahirkan petinju Indonesia yang mampu meraih medali di SEA Games. Salah satu ukuran lain apakah dia mampu menggelar Piala Presiden. Ini menjadi prestise tersendiri. Sebab, hanya di Piala Presiden inilah semua pencinta tinju Indonesia berikut mata tinju dunia Asia akan mengamati siapa raja di Asia.

Maklum, dalam kejuaraan ini tidak hanya negara-negara Asia yang menurunkan petinju terbaiknya. Ada juga Amerika Serikat, Kuba, dan Rusia yang menjadi gudang petinju andal dunia yang tidak pernah absen di saat Piala Presiden ini mampu bergulir tanpa jeda.

Jadi, sekarang, ketika tahun bergerak dari 2009 ke 2010, harus ada langkah yang lebih baik lagi dari PB Pertina untuk mengangkat tinju Indonesia.

Kompas, 30 Desember 2009

Tidak ada komentar: