Jumat, 16 April 2010

Cagar Budaya

UNESCO : Hentikan Lelang

Singapura Berminat Membeli Barang dari Kapal Tenggelam

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO meminta Indonesia untuk membatalkan lelang 271.381 keping benda berharga berusia sekitar 1.000 tahun asal muatan kapal tenggelam. Pelelangan itu dinilai melanggar konvensi Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air.

Direktur Peninggalan Arkeologi Bawah Air Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Surya Helmi mengatakan, permintaan itu sudah beberapa kali disampaikan. UNESCO khawatir pelelangan itu menghilangkan artefak bersejarah. ”Indonesia memang merencanakan pelelangan BMKT (Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam) untuk pertama kali pada 5 Mei 2010 mendatang di Jakarta,” ungkap Surya, Kamis (15/4) di Surabaya.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengumumkan pelelangan koleksi artefak dari kapal karam di perairan Cirebon. Koleksi artefak itu, antara lain, berasal dari era lima dinasti China yang berkuasa sekitar tahun 900. Selain itu, kerajinan gelas dari Kerajaan Sasanian, Rock Crystal peninggalan Dinasti Fatimid (909-1711), perhiasan emas, perak, dan berbagai jenis batu mulia. Lelang ditargetkan menghasilkan Rp 900 miliar (Kompas, 6/4).

Surya mengatakan, UNESCO ingin BMKT tetap di bawah laut. Pemanfaatan barang-barang berharga tersebut, berdasarkan konvensi itu, harus di tempat kapal karam. ”Tetapi, Indonesia belum meratifikasi konvensi itu sehingga belum terikat,” katanya.

Singapura berminat

Meskipun belum dipastikan, pemerintah masih berharap artefak itu bisa diakses publik lewat museum. Pemerintah sudah dikontak beberapa museum yang berminat membeli barang itu.

”Ada museum dari China dan Singapura berminat membeli koleksi. Tetapi, museum dari China menyatakan akan menjual sebagian koleksi. Hanya sebagian akan disimpan,” ungkapnya.

Indonesia sendiri sudah mendapat sebagian artefak itu. Dari total 272.372 keping, pemerintah memilih 991 keping. Pemerintah mendapat satu keping dari setiap jenis benda.

”Koleksi itu akan didistribusikan ke beberapa museum,” ujarnya

Konvensi

Surya mengemukakan, UNESCO sudah sering meminta Indonesia meratifikasi konvensi Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air. Desakan itu tidak lepas dari prediksi UNESCO bahwa ada sekitar 300.000 situs kapal karam di perairan Indonesia. Sebagian besar diduga di pesisir timur Sumatera dan pantai utara Jawa. Pada masa lalu, perairan itu merupakan jalur pelayaran internasional yang ramai.

Namun, sampai saat ini Indonesia baru memiliki data 463 situs. Dari jumlah itu, baru 43 situs disurvei dan 10 situs dieksplorasi. ”Data 463 situs itu berupa dokumen pelayaran masa lalu,” ujarnya.

Adapun ke-10 titik yang telah diangkat benda berharganya kebanyakan di perairan Jawa dan Sumatera. Pengangkatan benda di perairan Jawa adalah di Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat (1998); Karangsong, Cirebon, (2004); Karawang, Jawa Barat, (2008); Pulau Karang China, Kepulauan Seribu, Jakarta (2008); serta di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (2008).

Di perairan Sumatera, yang terlama dilakukan di Pulau Buaya Wrek, Kepulauan Riau (1998). Selain itu, di Pulau Intan Kargo di Selat Gelasa, Bangka Belitung, Belitung Timur (2006); Teluk Sumpat di Tanjung Pinang (2006); dan Karang Hliputan di Kepulauan Riau (2006).

Keringanan pajak

Sementara itu, menyangkut tingginya pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dikenakan pada pemilik bangunan cagar budaya, Surya Helmi mengatakan, pemilik yang merawat bangunan cagar budaya bisa mendapatkan keringanan PBB. Pemilik terlebih dahulu harus mengajukan permohonan setiap tahun. ”Terkesan merepotkan, tapi permohonan tahunan itu sebagai kontrol bahwa mereka masih merawat cagar budaya itu,” ujarnya.

Menurut Surya, sudah ada aturan pajak soal itu. ”Namun, mungkin tidak semua pemilik bangunan cagar budaya tahu peraturan tersebut,” ujarnya.

Wakil Ketua Surabaya Heritage Freddy H Istanto mengatakan, seharusnya ada insentif bagi pihak yang menjaga keaslian bangunan cagar budaya. Jika tidak ada perlakuan khusus, wajar bila mereka tergoda melepas bangunan itu. ”Sebagian besar bangunan cagar budaya berdiri di kawasan bisnis. Banyak pemodal mengincar lahan tempat bangunan dan siap menawarkan harga tinggi,” kata Freddy.

Kompas, 16 April 2010


Tidak ada komentar: