Kamis, 24 Juni 2010

Info Olahraga

Karma dalam Sepak Bola


Perhaps it was la karma or whatever the French is for gypsy curse, but the team which cheated us out of making it to South Africa will return home today in almost complete humiliation. Harian ”Irish Independent”, Rabu, 23 Juni 2010

Kita paham ketika bangsa Irlandia merasa dikibuli oleh Thierry Henry, kemarahan mereka hanya menunggu waktu untuk mendentum dengan keras. Maka, ketika kesebelasan ”Ayam Jantan” Perancis menggelepar di Afrika Selatan, ungkapan kemarahan Irlandia bergema seperti litani di hampir semua harian terkemuka di negeri itu. Seperti yang ditulis di halaman depan Irish Independent di atas.

Tujuh bulan lalu, Henry, kapten Perancis yang berada di senja kala kariernya, melakukan dua kali handball sebelum mengirim umpan kepada William Gallas yang kemudian membobol gawang Irlandia. Gol Gallas itu mengakhiri mimpi Irlandia tampil di Piala Dunia 2010 Afrika Selatan dan, sebaliknya, mengantarkan Perancis, juara dunia 1998, ke putaran final pertama di Benua Afrika. Henry secara jantan mengakui ia handball, tetapi merasa tak bersalah karena wasit tak melihat, dan dalam sepak bola hal semacam itu sah!

Namun, apa yang sah di lapangan bola memang sering berseberangan dengan perasaan, terutama rasa keadilan. Wasit asal Swedia, Martin Hansson, boleh mendapat sanksi dari FIFA, Henry boleh dimaki Rakyat Irlandia, tetapi hasil tak beranjak, Perancis-lah yang lolos ke Afrika Selatan. Bangsa Irlandia terkoyak hatinya, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya menunggu hari penghakiman yang akhirnya terjadi di Stadion Free State, Bloemfontein, saat Perancis dipermalukan tuan rumah 2-1. Sebelumnya, runner-up Piala Dunia 2006 ini juga dipermalukan Meksiko 0-2 dan ditahan Uruguay tanpa gol.

Namun, bukan semata rontoknya Henry cs yang membuat bangsa Perancis malu tak terperi. Pemberontakan pemain, yang dimotori Nicolas Anelka dan kapten Patrice Evra-lah yang membuat Perancis tampak kerdil di antara mereka yang tampil di Afrika Selatan. Lepas dari buruknya kepemimpinan Pelatih Raymond Domenech, pemberontakan Evra cs yang membuat Perancis terkapar memang ibarat karma yang harus mereka tanggung.

Terlalu rumit untuk mengkaji hukum sebab akibat dalam kasus rontoknya Perancis di putaran pertama Afsel 2010. Apalagi jika membawa-bawa kajian teologis seperti saat kalangan agama memperdebatkan ”Gol Tangan Tuhan” Diego Maradona ke gawang Inggris di Piala Dunia 1986. Namun, yang pasti, fakta tak dapat disangkal, Perancis tak berdaya setelah Henry mengibuli Irlandia untuk lolos secara ”sah” ke Afrika Selatan.

Di sisi lain, rumit pula menjelaskan mengapa Italia yang jauh lebih penuh tipu daya ketimbang Perancis sukses menjuarai Piala Dunia 2006 dengan mengelabui Australia dan mengerjai Zinedine Zidane. Siapa yang bisa menjelaskan mengapa tim ”Azzurri” yang sedang ditimpa malapetaka dengan terbongkarnya kasus suap dan jual beli hasil pertandingan di Liga Serie A—kemudian populer dengan sebutan calciopoli—justru tampil solid untuk menjadi juara keempat kalinya di Jerman 2006? Apakah Fabio Grosso yang menyakiti hati Australia dan Marco Materazzi yang menyakiti perasaan Zidane tak mendapat karmanya yang setimpal?

Jika mau sok berfilosofi, barangkali justru calciopoli-lah yang membuat Italia menjadi juara dunia di tanah Jerman empat tahun lalu. Tak diragukan lagi, keberanian Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) membongkar judi dan suap yang ibarat sudah mendarah daging di sepak bola Italia itulah diberi imbalan yang setimpal dengan gelar juara dunia. Bagaimanapun, FIGC telah memberi contoh nyata penegakan fairplay, kejujuran dan sportivitas dalam olahraga meskipun harga yang semula harus dibayar teramat mahal. Skandal calciopoli menelan korban klub-klub ternama, seperti Juventus yang kehilangan gelar juara serta AC Milan, Lazio, Fiorentina, dan Reggina.

FIGC tak peduli meski Juventus dan AC Milan, misalnya, dipunyai oleh orang-orang kuat dan kaya raya Italia. Ketika hukum harus ditegakkan, FIGC bertindak sebagai Dewi Keadilan yang matanya tertutup dan pedangnya menebas leher Juventus ke jurang degradasi.

Seluruh bangsa Italia malu atas skandal ini, tetapi di satu sisi mereka pun bangga atas keberanian FIGC memberantas mafia sepak bola yang merajalela karena ditopang oleh sistem yang korup. Sistem yang melibatkan manajer, wasit, dan perangkat pertandingan tersebut ditebas habis oleh FIGC, yang melalui penyidiknya, Stefano Palazzi, bertindak tanpa belas kasih terhadap para bandit sepak bola.

Maka, boleh jadi, kelakuan buruk Grosso dan Materazzi masih terampunkan oleh tugas suci yang telah dijalankan FIGC memberantas ketidakjujuran dan korupsi di tubuh sepak bola Italia.

Berkaca pada Perancis yang sedang menjalani karmanya atau Italia 2006 yang mendapat berkah, apakah sepak bola Indonesia sedang menjalani karmanya yang pahit?

Sangat boleh jadi. Tanpa perlu menerjemahkan betapa tak bermutunya pengelolaan sepak bola Indonesia di tangan PSSI, wajah kita di pergaulan internasional tak kalah memalukan ketimbang hancurnya Perancis di Afsel 2010. Klub-klub ”terbaik” hasil kompetisi PSSI hanya jadi lumbung gol saat tampil di pentas Asia. Timnas Indonesia makin terpuruk, bahkan kalah dari negara kecil yang terletak di ”tengah hutan” Asia Tenggara, Laos.

Perancis besok pagi mungkin sudah bangkit dan dua tahun lagi menjadi juara Eropa, sedangkan Indonesia terus menjalani karmanya yang pahit selama PSSI tak pernah menyadari kegagalannya.

Anton Sanjoyo

Kompas, 24 Juni 2010

Tidak ada komentar: