Rabu, 19 Mei 2010

Info Olahraga

Terpuruknya Bulu Tangkis Kita



Kekalahan tim Indonesia dalam turnamen Piala Thomas dan Uber sungguh menyakitkan. Kita semakin tenggelam dalam krisis prestasi yang berkepanjangan. Realitas ini kian mendesak kita untuk melakukan gebrakan. Harus ada perombakan organisasi dan pembinaan atlet agar bulu tangkis berjaya lagi.

Sudah delapan tahun, sejak 2002, Piala Thomas tak pernah lagi digenggam Indonesia. Kemampuan pemain-pemain kita pun tampak jauh ketinggalan dibanding pemain negara lain. Buktinya, pekan lalu tim Merah Putih ditekuk Cina dengan mudah, 0-3, di final Piala Thomas. Sebelumnya, tim Uber Indonesia menyerah kepada Cina di semifinal Piala Uber juga dengan skor 0-3.

Padahal dulu kita adalah jawara di bidang olahraga ini, mengalahkan raksasa bulu tangkis seperti Cina atau Malaysia. Indonesia pernah juara Thomas 13 kali. Kejayaan ini seolah tanpa bekas. Dalam empat kejuaraan Piala Thomas terakhir, Indonesia tak bisa merobohkan dominasi "Tembok Cina". Di Piala Uber, prestasi Indonesia lebih jeblok. Tim Indonesia terakhir kali meraih Piala Uber 14 tahun lalu.

Terpuruknya prestasi itu sebenarnya tak mengejutkan kalau melihat kinerja Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, hampir tak ada terobosan yang dilakukan PBSI. Organisasi ini masih dikelola dengan cara kuno: memasang pejabat atau jenderal sebagai ketua umum. Dulu cara ini berguna untuk mendapatkan dana dan sponsor. Tapi sekarang, di era reformasi, menjadi kurang relevan. Atlet-atlet bulu tangkis Indonesia adalah pemain kelas dunia, jadi tak akan sulit mencari sponsor. Serahkan PBSI kepada para ahli bulu tangkis. Itu akan membuat prestasi bulu tangkis kita bisa berkembang.

Yang paling krusial dirombak adalah sistem pembinaan atlet, dari pentingnya menggulirkan kompetisi rutin hingga pemberdayaan klub-klub. Sekarang kompetisi bulu tangkis di tingkat daerah atau nasional nyaris tak ada gaungnya. Klub-klub hebat, seperti Pelita Jaya di Jakarta, Suryanaga di Surabaya, Mutiara di Bandung, kini juga semakin redup. Dulu Pelita Jaya melahirkan Icuk Sugiarto dan Mutiara membuahkan pemain ganda hebat Christian Hadinata.

Kita perlu belajar pada kebangkitan bulu tangkis Cina dan Korea dalam beberapa tahun terakhir. Korea adalah negeri yang patut diteladani. Dalam final Piala Uber 2010, siapa menyangka tim Korea Selatan bisa mengalahkan Cina 3-1. Selain mempunyai daya juang yang luar biasa, pemain Korea Selatan sigap bergerak. Dua hal itu tak dimiliki para pemain Indonesia. Mereka lamban dan tidak gigih. Pemain Korea Selatan telah berlatih dengan teknologi modern sehingga otot mereka lebih langsing dan lincah.

Pemerintah seharusnya lebih serius pula mendukung olahraga ini. Misalnya lewat kebijakan yang mendorong kalangan pengusaha ikut membantu pengembangan atlet bulu tangkis. Pemerintah juga bisa menyokong penjaringan atlet berbakat lewat pendidikan dengan rutin menggelar kompetisi bulu tangkis di tingkat sekolah dasar dan menengah.

Semua upaya itu harus dilakukan karena di cabang bulu tangkis--bukan cabang sepak bola atau yang lainnya--Indonesia telah menjadi jawara dunia. Kejayaan ini seharusnya bisa dipertahankan jika kita berhenti mencetak atlet yang andal.

Koran Tempo, 18 Mei 2010

Tidak ada komentar: