Kamis, 05 November 2009

Opini

SEA GAMES LAOS :

PROSPEK BURAM PRESTASI INDONESIA ?

Oleh : Utut Adianto



Sea Games ke-25 siap digelar di Laos: 8 – 16 Desember 2009. Menpora yang baru, Dr. Andi Alfian Malarangeng menegaskan, Indonesia harus mampu memperbaiki peringkat dari urutan keempat pada Sea Games dua tahun lalu menjadi – setidaknya – ketiga atau tiga besar. Sebuah keinginan berlebihan, atau hanya ingin menunjukkan prestasi yang lebih baik di bawah kepemimpinan barunya?

Tentu, tidak terkategori berlebihan. Keinginan peringkat ketiga – berarti perbaikan satu tingkat – merupakan hal wajar. Dan Negara manapun sebagai peserta memang harus berobsesi meraih prestasi terbaiknya. Secara filosofisnya, kita bisa mencatat bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Inilah makna kemajuan seiring dengan penambahan waktu. Jika sebaliknya (tidak lebih baik, bahkan jika sama seperti hari kemarin), berarti rugi. Makna filosofis itu mengandung spirit: atlet yang siap disertakan dalam Sea Games harus berjuang jauh lebih keras, meski targetnya tetap minimal, yakni memperbaiki satu peringkat. Barangkali, tempaan spiritnya harus lebih keras: peringkat tertinggi.

Namun demikian, kita bisa memahami logika tuntutan perbaikan yang hanya satu peringkat itu. Jika tuntutannya maksimal – katakanlah peringkat pertama – hal ini berkonsekuensi logis pada kesiapan prima para atlet, yang jauh sebelumnya benar-benar telah “bertempur” untuk menjadi terbaik. Kesiapan ini pun tak lepas dari berbagai faktor, antar lain, koordinasi efektif antar berbagai pihak yang terkait dengan kualitas prima para atlet. Dan yang tak kalah mendasarnya adalah, tuntutan itu tak akan lepas dari kesiapan finansial, yang disiapkan Pemerintah ataupun keterpanggilan unsur swasta. Finansialisasi itu semua – termasuk di antaranya -- memberikan bonus kepada atlet peraih medali emas khususnya, akan menjadi daya dorong (trigger) yang luar biasa, sehingga berpotensi meraih prestasi (medali).

Bagaimana dengan Indonesia? Ada sejumlah kendala yang harus dicermati. Fakta di lapangan menunjukkan, hingga kini (sampai tulisan ini disajikan), sebanyak 150 atlet yang siap mengikuti 20 cabang olahraga di Laos itu belum memasuki arena Pelatnas. Titik persoalannya bukan pada keengganan daerah dalam mengirimkan sejumlah atletnya, bahkan ketidaksiapan atletnya, tapi ada problem koordinasi di tingkat Pusat, yang notabene masih belum klop cara pandangnya antara kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) bahkan Komite Olahraga Internasional (KOI). Belum matchingnya koordinasi ini mengakibatkan tertundanya jumlah atlet yang harus digebleng lebih prima. Faktor yang mendasarinya dapat kita baca: keterbatasan anggaran itulah yang tampaknya memaksa berhitung, berapa atlet yang harus diikutsertakan dan berapa cabang olahraga yang harus diikuti. Data keterbatasan finansial inilah – konon hanya sekitar Rp 10 – 12 milyar – yang tampaknya lebih memilih pendekatan minimalis.

Yang menjadi persoalan, apakah pendekatan minimalis itu akan mencapai target, meski juga minimal (perbaikan satu peringkat)? Di atas kertas, masih tetap diragukan. Kita perlu mencatat, kesiapan pembinaan atlet yang penuh konsentrasi di Pelatnas minimal sekitar empat bulan sebelumnya. Lebih lama lagi sebelumnya jauh lebih memberikan harapan. Dan itulah yang dilakukan para atlet rivalis dari negara-negara sekitarnya seperti Malaysia, Thailand dan Filipina yang terus berjaya dalam setiap arena Sea Games. Lebih dari itu, atlet pun tidak boleh “dipimpong” akibat persoalan koordinasi antarinstansi terkait pembinaan olahraga. Harus dicatat, problem di tingkat vertikal berpengaruh destruktif bagi motivasi para atlet. Realitas kondisi ini mendorong pesimisme atlet untuk mengukir prestasi puncaknya.

Berangkat dari kondisi riil itu, kiranya, Pemerintah – secara obyektif – tidak boleh memaksakan kehendaknya selagi kewajiban dasarnya tidak terpenuhi. Sangat boleh jadi, bonus yang menggiurkan telah dipersiapkan. Tapi, faktor bonus ini terkategori terlambat karena waktu pembinaan fisik dan mentalnya hanya dalam ukuran beberapa hari sebelum kontingen berangkat ke Laos. Mungkinkah waktu dapat diputar mundur? Atau, mungkinkah perhelatan Sea Games – dengan alasan Indonesia masih perlu waktu pelatihan – diundur beberapa bulan lagi? Sangat tidak mungkin.

Belajar dari prospek buram bagi atlet kita untuk mengukir prestasi yang lebih baik, maka Pemerintah bersama tim teknis dari KONI/KOI sudah saatnya merancang- bangun sejumlah faktor yang mampu mengantarkan atletnya siap tempur dan berhasil meraih prestasi puncak. Konsep programnya tentu tidak boleh instan. Dalam hal ini kiranya menjadi urgen untuk bicara desentralisasi pencetakan dan pembinaan atlet sebagai strategi jangka panjang yang akan berbuah siap “perang” manakala diperlukan mendadak. Pemda bersama KONI daerah ditantang bagaimana mewujdukan program yang mampu melahirkan atlet andalan itu.

Kematangan proses pembinaan jangka panjang akan sangat efektif – setidaknya memperpendek waktu bagi Pelatnas – dalam menyempurnakan “bahan baku” (atlet) yang dikirim asing-masing Pemda/KONI daerah. Idealitas ini pun bukan tanpa kendala laten. Biaya pembinaan yang terbatas terus membayangi. Dalam hal ini, beberapa hal yang perlu digaris-bawahi adalah kebutuhan yang harus dipenuhi bukanlah hanya sang atlet selama latihan, tapi bagaimana membuat mereka dapat konsentrasi penuh dalam berlatih. Ini berarti harus mengkaitkan pemenuhan kebutuhan pokok mereka termasuk keluarganya (jika ia telah beranak-istri) yang harus nyaman. Konsep kenyamanan inilah yang tampaknya belum diprogram dengan terencana.

Yang perlu kita catat lebih jauh, selama atlet masih bercabang pikirannya, antara lain, harus memikirkan dapurnya, maka spirit berlatihnya tidak akan pernah maksimal. Inilah kondisi obyektif psikologis para atlet, sehingga Pemerintah – Menpora dan Pemda – harus merancanag-bangun instrumen ekonomi para atlet. Dalam hal ini dan inilah yang pernah dilakukan Menpora masa lalu (Adyaksa Daud) memasukkan sebagian mereka sebagai PNS. Persoalannya, kebutuhan dasar tidak cukup hanya sebagiandari mereka. Karenanya, seluruh atlet harus dirancang bagaimana mendapatkan fasilitas tertentu yang bisa menghidupi dirinya dan atau keluarganya, meski tidak harus PNS.

Konsep kepegawaian atlet cukup emberi makna konstruktif: mengurangi beban pikiran dala kaitan “dapur”. Yang menjadi persoalan, bagaimana sikap instansi terhadap atlet? Jika memang harus ikut kerja sebagaimana umunya pegawai, maka kondisi ini pun akan berdampak tidak maksimalnya latihan. Dan hal ini pun akan berdampak lebih lanjut. Dilematis memang. Yang satu – sisi ekonomi terpenuhi – tapi berdampak pada agenda latihan maksimalnya. Di sisi lain, tanpa pemenuhan ekonomi, juga berpengaruh ketidakmaksimalan berlatihnya.

Untuk itu harus ada pendekatan lain: sponsorship. Menpora dan atau Pemda harus mampu menjalin kemitraan dengan kalangan swasta untuk ikut mengalokasikan sejumlah devidennya untuk kepentingan pembangunan atlet. Alokasi dananya merupakan komitmen kebangsaan. Yang menjadi persoalan, tak mudah menggedor komitmen itu. Swasta akan selalu berpikir apa benefif atau feed back dari sejumlah nilai yang telah diberikan untuk kepentingan produsen. Pola pikir inilah yang mengakibatkan sebagian cabang olahraga tersponsori secara aksimal, dan sebagian lagi “kering”. Kita tahu, cabang-cabang olahraga yang diperhelatkan bukan hanya cabang-cabang yang “basah” sponsor itu. Di sinilah peran penting Menpora dan atau Pemda agar memaksa para partisipan sponsor itu.

Pemaksaannya akan efektif jika kategori pengeluarannya jelas, antara lain, sebagian pajaknya atau sebagian dana responsibilitas perusahaan yang sering kita kenal dengan CSR. Sekali lagi, partisipasinya bukan ke cabang-cabang olahraga tertentu, tapi harus melalui pintu tertentu, misalnya, dana pembinaan olahraga. Pintu inilah yang akan mengalokasikan ke seluruh cabang olahraga dan atletnya, sehingga semua cabang olahraga hidup. Seluruh atletnya pun bisa dibikin nyaman.

Kini, konsep seperti – boleh saja – erupakan masukan. Jika direspon positif dan ditindaklanjuti, berarti hasilnya bukan saat ini. Karenanya, sepanjang sistem pembinaan dan konsekuensi finansialnya masih model lama, maka janganlah berkecil hati jika prestasi atlet kita di arena Sea Games Laos belum mencapai target yang didambakan. Itukah potret buram Indonesia pada Sea Games XXV itu? Boleh jadi. Tapi, yang terpenting adalah bagaimana tidak mengulangi lagi potret yang menyedihkan itu. Itulah urgensinya terobosan yang didasari kesadaran semua komponen bangsa.

Jakarta, 2 November 2009

Penulis : Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP

Tidak ada komentar: